Surat Berdarah untuk Presiden: Jerit Tanpa Suara Para Buruh Migran

Jelas, tak hanya yang berada di gedung-gedung pencakar langit yang layak menunjuk dada sebagai orang sibuk. Mereka, para buruh migran yang ada di seantero Hongkong juga memiliki kesibukan yang tidak bisa dilihat sebelah mata. Menariknya, di tengah sebuah kesibukan, bersama seorang penulis yang sudah malang melintang di dunia kepenulisan Indonesia, Pipiet Senja, para buruh migran itu menorehkan lukanya dalam buku antologi bertajuk: Surat Berdarah untuk Presiden.

Tercenung bersama segumpal haru menyelinap ke ruang-ruang nurani saya, ketika salah satu rekan BMI Hongkong yang juga aktif menulis di Kompasiana, Kine Risty mengabarkan,”Kami sudah menerbitkan satu buku antologi lagi!”
Kendati kabar itu dikirimkan hanya melalui media Yahoo Messenger, tetapi saya bisa merasakan seperti apa kebanggaan yang dipancarkan rekan ini (di buku antologi ini, Risty menulis cerita bertitel: Kumaknai Setiap Langkah di Negeri Beton).

Tak pelak, kebanggaan itu pula yang kemudian ikut menyeruak ke dalam dada saya. Kagum, dengan semua kesibukan mereka bekerja sebagai buruh migran, namun tidak menjadikan kesibukan itu sebagai tembok yang menghalangi kemauan mereka berkarya. Perasaan itu kemudian bertambah dengan perasaan lain; terharu!

Pikiran saya seperti dipenuhi sekian banyak tangan yang membuka-buka lembaran atas apa saja yang pernah saya baca dan lihat di berbagai media. Betapa mereka yang terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya, Indonesia yang sejauh ini belum mampu sekadar memberi mereka pekerjaan layak, untuk bisa mendapatkan penghidupan yang lebih baik.

Tidak peduli jenis kelamin. Perempuan yang di kampung halamannya kerap dipandang sebagai perempuan lemah, namun menjadi para perempuan perkasa, bertarung mencari mata pencaharian yang belahan dunia yang tidak pernah dikenal detail dari sejak mereka kecil.

Mereka, perempuan-perempuan tangguh. Yap, saya lebih menggarisbawahi perempuan karena buku yang saya sebut di awal digarap oleh tangan-tangan lembut bersama kepala penuh tekad para perempuan buruh migran itu. Yang dialirkan untuk menyuarakan keperihannya.

Asma Nadia, salah satu penulis perempuan di Indonesia yang juga sudah cukup dikenal di Indonesia, menyebut buku tersebut menjadi media efektif untuk mereka menyuarakan penggalan hidup mereka di sana. Ia juga mengatakan bahwa dalam buku ini ia temukan ‘mata’ yang menyala, menggambarkan perjuangan perempuan-perempuan buruh migran berjiwa pejuang itu.
Memang, buku antologi yang digarap 36 penulis itu sarat berisi cerita-cerita yang berhubungan dengan keseharian mereka di sana.

Cerita tentang berbagai kondisi yang dihadapi, yang tak jarang begitu mengetuk-ngetuk pintu kesadaran kemanusiaan. Sebut saja, Ani Ramadhani, yang juga penulis di Kompasiana menulis tentang Keperawanan yang Dihargai HK$2000. Berisikan tantangan yang tidak kecil untuk dihadapi oleh seorang perempuan. Keadaan yang di satu sisi, juga menjadi penegas seperti apa mereka terkadang harus berlapang dada, tak terkecuali ketika harus berhadapan dengan sikap-sikap yang sangat merendahkannya sebagai perempuan.

Juga Mega Vristian yang sudah sering mengisi khasanah sastra Indonesia itu, bercerita tentang berbagai hal yang menguras air mata para buruh migran di Shanghai.

Terdapat banyak cerita di buku ini. Cerita yang saya yakini cukup layak dibaca oleh siapa saja yang berkeinginan untuk membuka mata dan hati atas keadaan anak bangsa yang harus cucurkan keringat yang terkadang membaur dengan air mata di negeri orang.

Di buku ini pula, sebuah semangat kental, namun cukup bisa merembes sampai ke hati kita yang membacanya. Sepertinya saya yakin, semua tulisan yang ada di sana memang dialirkan dari sungai-sungai bening hati para penulis itu!

Mereka tidak berbicara, tetapi mereka bercerita tentang sekian catatan hidup yang dijalankan dengan cinta pada lembaran-lembaran kertas diam. Namun akan menggema di hati Anda yang membacanya, sesuatu yang lebih dari sekadar suara, insya Allah.(ZA)

Leave a comment