Aku, Sang Nabi

Perkataan Musa di Thursina siapa pula yang sudah mendengar, tidak ada.

***

Lalu, hari ini sepuluh catatan yang pernah tergenggam di tangan Musa dibakar oleh sekian ribu serigala yang pernah meminta diri di syurga untuk terlahir sebagai manusia. Apinya membumbung, sebagian asap mengepul hingga ke ‘arasy. Berbau amis, busuk menusuk mengundang gerimis tangis. Setelah berganti Nabi di beribu purnama, angkara tidak lenyap seiring kematian waktu yang telah purba, angkara belum purna, meski pendatangan Nabi telah paripurna. Tanpa melihat diri, kita berbisik-bisik hanya dengan tetangga, “salah siapa?”

Beberapa hari lalu, seorang lelaki baru menyentuh sampul dari salah satu kitab suci. Pagi tadi sudah mengklaim diri sebagai Nabi. “Akulah sang nabi!” Teriaknya pongah. Untung saja hanya diucapkan di kamar rumahnya berbau kencing tikus yang tak pernah dibersihkannya. Suaranya tidak sampai terlalu mengusik telinga pejalan kaki yang sedang melempar senyum pada matahari. Meski lamat-lamat terdengar juga.

“Akulah yang layak disebut pewaris segala bijaksana sampai tahta syurga. Mereka, bukan siapa-siapa. Hanya aku, aku, akulah sang nabi.” Ia memuji diri.

Sebagai pejalan kaki, aku sendiri mencoba untuk tidak terlalu acuhkan hal itu. Berupaya untuk meredam marah meski muak dengan pemuja diri sebagai sang maha tahu. Pemuja diri yang cuma bisa bicara di depan batu. Pemuja diri yang gagal menerjemahkan malu.

Kusibukkan saja membuka beberapa lembar buku yang masih kuat untuk kubaca. Tentang Adam, Idris, Nuh, Hud, Saleh sampai ke Muhammad. Betapa membaca mereka kian membuat diri tersadar, belum kuhadapi satu ujian seperti mereka. Karena, kemunafikanku begitu haus hanya pada puji yang harusnya hanya tertuju pada ilahi. Aha, bagiku caci maki. Bila mereka enggan berikan, biar saja kucaci maki diri ini sampai pagi. Terkadang, oleh dan atas nama persahabatan, caci maki dipandang ketidaksetiakawanan. Terkadang, puji dipandang sebagai energi. Maka kemudian, yang kebetulan berhasil menuai puji mereka kian berenergi sedang yang selainnya lantas mati. Entah disebabkan tak ada lagi hati yang menampung energi yang tak kenal mati dari ilahi, akupun tak tahu pasti.

Pertarungan dalam jiwaku saat ini hanya, mengambil pedang untuk kutebaskan ke leher mereka yang berpura-pura tolol itu atau kucari sekerat tali untuk aku sendiri menggantung diri. Bukan untuk bunuh diri, tetapi agar jiwa pengecut di dalam diri yang selama ini ditopengi berbagai ilustrasi ikut mati. Nanti, aku minta pada Tuhan untuk hidupkan kembali. Berharap, nanti tidak ada lagi mulut-mulut berbau mengaku diri sebagai nabi. Tetapi ini sebenarnya adalah kegilaan, jika saja aku membulatkan hati untuk ini.

Saat masih ada lelaki yang masih mengaku diri sebagai nabi, aku berpikir untuk bermetafora saja, mungkin bisa membentuk sebuah metamorfosa pada jeda waktu yang aku sendiri sulit terangkannya. Karena untuk bicara kebenaran, sama sekali tidak perlu untuk menyebut diri sebagai Nabi. Sehingga puji tak dipandang indah seperti cengkrama senja dengan matahari, dan caci maki tidak lagi dipandang sebagai duri. Dan, hati masih sempat untuk menghitung dan menulis sekian angka anugerah dari Ilahi.

Gegerkalong, 29 Mei 2010

Sumber Gambar: Di sini

Comments
4 Responses to “Aku, Sang Nabi”
  1. nah blog ini lebih mantap, bang

    ruh ruh tulisan dimana-mana 🙂

  2. Aminnnnn, bang

    saya juga butuh banyak belajar

Leave a comment